Beranda | Artikel
Tata Cara Haji
Senin, 26 Juni 2023

TATA CARA HAJI

Tata cara haji yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabatnya radhiyallahu ‘anhum dengannya.

Bagi yang berada di kota Makkah dan para penduduk Makkah disunnahkan mandi, membersihkan diri dan memakai minyak wangi. Kemudian berihram haji di hari Tarwiyah sebelum tergelincir matahari (sebelum zuhur), yaitu pada hari ke delapan Dzulhijjah. Ia berihram dari tempat tinggalnya dan membaca dalam ihramnya:

لبيك حجا (labbaika hajja). Adapun yang melaksanakan haji qiran dan haji ifrad, ia tetap dalam ihramnya hingga melontar jumrah aqabah di hari raya (hari ke sepuluh Dzulhijjah).

Kemudian, setiap orang yang ingin melaksanakan haji keluar membaca talbiyah menuju Mina sebelum gelincir matahari. Lalu ia shalat di sana bersama imam, jika memungkinkan, shalat Dzuhur, Ashar, Magrib, Isya, dan fajar (subuh) secara qashar tanpa jama’. Jika tidak memungkinkan, ia shalat di tempat berdiamnya secara qashar tanpa jama’, dan bermalam di Mina pada malam itu.

Kemudian apabila terbit matahari di hari ke sembilan, yaitu hari Arafah, ia berjalan dari Mina menuju Arafah sambil bertalbiyah dan bertakbir. Lalu ia turun (berhenti, istirahat) di Namirah hingga tergelincir matahari, yaitu tempat yang dekat dari Arafah dan bukan bagian dari Arafah.

Perbatasan Arafah.
Dari arah Timur, pegunungan yang memanjang di atas tanah lapang Arafah. Dari arah Barat, lembah ‘Aranah. Dari arah Utara, pertemuan lembah Washiq dengan lembah ‘Aranah. Dari arah Selatan, setelah Masjid Namirah sebelah Selatan sekitar satu kilometer setengah.

Apabila tergelincir matahari, ia berangkat ke permulaan Arafah dari arah masjid Arafah. Dan di tempat itu (di lembah Aranah), imam menyampaikan khutbah kepada manusia (jamaah haji), sekarang tempat tersebut termasuk bagian dari masjid. Kemudian muadzdzin mengumandangkan azan untuk shalat zuhur, kemudian iqamah, kemudian bersama mereka imam melaksanakan shalat zuhur dan ashar secara jama’ dan qashar, dua rakaat-dua rakaat. Mengumpulkan di antara keduanya dengan jama’ taqdim dengan satu kali azan dan dua kali iqamah. Jika tidak bisa melaksanakan hal itu, ia shalat jamaah bersama temannya di tempatnya secara jama’ qashar, seperti yang telah dijelaskan.

Kemudian disunnahkan baginya setelah shalat, menghadap ke Arafah, berdiri di samping gunung yang dinamakan Jabal Arafah, ia menjadikannya di antaranya dan di antara qiblat, dan menghadap qiblat, menjadikan para pejalan kaki di hadapannya.

Ia tetap berhenti di sisi bebatuan di bawah gunung, berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdoa dan meminta ampun kepada-Nya, dengan khusyu’ dan merendahkan diri, mengangkat kedua belah tangannya, berdo’a, membaca talbiyah dan bertahlil. Ia boleh wukuf bertunggangan di atas kendaraan, atau duduk di atas tanah, atau berdiri atau berjalan. Yang paling utama adalah yang paling membuatnya khusyu’ dan lebih menghadirkan hatinya (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ia memperbanyak doa dengan apa yang terdapat dalam al-Qur`an dan as-Sunnah (Hadits) yang shahih dan dengan apa yang dikehendakinya. Ia memperbanyak istigfar, taubat, takbir, tahlil, memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengucapan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menampakkan kefakiran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak bosan-bosan berdoa, jangan merasa terkabulnya doa itu lambat, senantiasa zikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berdoa kepada-Nya hingga tenggelam bulatan matahari.

Jika ia tidak bisa wukuf di samping gunung di dekat bebatuan, ia wukuf di mana saja di Arafah yang mudah baginya, di tempatnya atau lainnya. Seluruh Padang Arafah adalah tempat wukuf kecuali lembah Aranah.

Waktu wukuf di Arafah.
Dimulai setelah tergelincirnya matahari pada hari ‘Arafah hingga tenggelam matahari, dan terus berlangsung masa wukuf hingga terbit fajar di malam ke sepuluh (10). Barang siapa yang masuk sebelum tergelincir matahari atau masuk di malam Arafah, hukumnya boleh. Akan tetapi yang sunnah adalah masuk setelah tergelincir matahari. Dan barang siapa yang wukuf di malam hari, walau hanya sebentar, maka itu sudah cukup.

Pengertian wukuf adalah: berdiam di atas kendaraan atau di daratan, bukan berdiri di atas kedua kaki. Barang siapa yang wukuf di Arafah pada siang hari, kemudian pergi sebelum tenggelam matahari, berarti ia telah meninggalkan salah satu perkara yang disunnahkan dan tidak ada dam atasnya, dan hajinya sah.

Dari ‘Urwah bin Mudharris Radhiyallahu anhu, bahwasanya dia bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Muzdalifah saat keluar untuk shalaf fajar… Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

مَنْ شَهِدَ صَلاتَنَاَ هذِهِ وَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ  وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذلِكَ لَيْلا ًأَوْ نَهَارًا فَقَدْ أَتَمَّ حَجَّهُ وَقَضَى تَفَثَهُ.

Barang siapa yang menyaksikan shalat kami ini, dan wukuf bersama kami, hingga kami berangkat, dan ia telah wukuf di Arafah sebelumnya pada malam hari atau siang hari, sungguh ia telah menyempurnakan haji dan menyelesaikan ibadahnya. HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi.[1]

Apabila matahari telah tenggelam, ia berangkat dari Arafah menuju Muzdalifah sambil bertalbiyah dalam keadaan tenang. Jangan mempersempit manusia dengan dirinya atau kendaraannya. Apabila ia menemukan celah, ia bersegera. Apabila telah sampai di Muzdalifah, ia shalat Magrib tiga rakaat dan Isya dua rakaat, menjama’ (menggabungkan) di antara keduanya dengan satu azan dan dua kali iqamah. Bersemalam di sana, shalat Tahajjud dan witir.

Kemudian ia shalat fajar bersama sunnahnya dalam keadaan gelap setelah masuk waktunya. Apabila telah selesai shalat fajar, ia mendatangi Masy’aril Haram, sekarang menjadi masjid Muzdalifah, berhenti di sana sambil menghadap qiblat, berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memuji-Nya, bertahlil dan bertakbir kepada-Nya, membaca talbiyah, berdo’a sambil bertunggangan atau di atas bumi sampai terang, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

 فَإِذَآ أَفَضۡتُم مِّنۡ عَرَفَٰتٖ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ عِندَ ٱلۡمَشۡعَرِ ٱلۡحَرَامِۖ …… [البقرة: ١٩٨] 

Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram. ….  [Al-Baqarah/2:198]

Jika tidak bisa pergi ke Masy’aril Haram, maka semua Muzdalifah adalah tempat berhenti, ia berdoa di tempatnya, sambil menghadap qiblat.

Boleh bagi orang-orang yang lemah dan mempunyai uzur, dari laki-laki dan perempuan, dan yang menyertai mereka untuk bertolak dari Muzdalifah ke Mina apabila bulan sudah tenggelam atau telah berlalu sebagian besar malam, kemudian mereka melontar Jumrah Aqabah apabila telah sampai Mina.

Kemudian orang yang berhaji berangkat dengan tenang dari Muzdalifah menuju Mina sebelum terbit matahari. Apabila telah sampai Muhassir, yaitu lembah di antara Muzdalifah dan Mina (dan termasuk dari Mina), ia mempercepat kendaraan atau berjalan sekadar lemparan batu.

Ia memungut tujuh biji batu dari sisi jumrah, atau dari jalannya menuju tempat melontar jumrah. Jika ia mengambilnya dari Muzdalifah hukum boleh. Ia membaca talbiyah dan bertakbir di perjalannya, dan menghentikan talbiyah apabila sudah melontar jumrah Aqabah.

Apabila ia telah sampai Jumratul Aqabah, ia adalah tempat melontar jumrah yang terakhir dari arah Mina, ia melontarnya dengan tujuh biji batu setelah terbit matahari, menjadikan Mina sebelah kanannya dan Makkah sebelah kirinya, mengangkat tangan kanannya dengan melempar, dan bertakbir bersama setiap lemparan.

Yang sunnah pada batu kerikil yang dilempar adalah kecil, di antara himmish (nama tumbuhan, chickpea-ing) dan bunduq (buah kemiri), seperti batu ketapel. Tidak boleh melempar dengan batu besar. Tidak boleh melempar dengan selain batu, seperti sepatu dan sendal, permata, barang tambang dan semisalnya. Jangan menyakiti dan jangan mempersempit kaum muslimin saat melempar dan lainnya.

Kemudian setelah melempar, yang melaksanakan haji tamattu’ dan qiran menyembelih hadyu dan membaca saat menyembelih atau memotong:

بِسْمِ اللهِ  وَالله ُأَكْبَرُ,اَللّهُمَّ هذَا مِنْكَ وَلَكَ, اَللّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّي

‘Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar, ya Allah, ini dari Engkau dan untuk Engkau, ya Allah, terimalah dariku.’

Disunnahkan memakan sebagian dari dagingnya, meminum dari kuahnya, memberi makan fakir miskin darinya, dan ia boleh membawa bekal darinya untuk di bawa ke negerinya.

Kemudian setelah menyembelih hadyu, ia menggundul atau mencukur rambutnya, jika ia laki-laki dan menggundul lebih utama. Yang mencukur disunnahkan memulai bagian kanan yang dicukur. Dan perempuan memotong sebagian rambut kepalanya sekadar ujung jari saja.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُحَلِّقِيْنَ. قَالُوْا :يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلِلْمُقَصِّرِيْنَ؟ قَالَ: اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُحَلِّقِيْنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلِلْمُقَصِّرِيْنَ؟ اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُحَلِّقِيْنَ. قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلِلْمُقَصِّرِيْنَ؟ قاَلَ: وَلِلْمُقَصِّرِيْنَ.

“Ya Allah, ampunilah orang-orang bergundul. Para shahabat bertanya, ya Rasulullah, dan orang-orang yang bercukur? Beliau bersabda: Ya Allah, ampunilah orang-orang bergundul. Mereka bertanya, ya Rasulullah, dan orang-orang yang bercukur? Beliau bersabda: Ya Allah, ampunilah orang-orang bergundul. Mereka bertanya, ya Rasulullah, dan orang-orang yang bercukur? Beliau bersabda, ‘Dan ampunilah orang-orang yang bercukur.‘ Muttafaqun ‘alaih.[2]

Apabila ia telah melakukan yang telah lalu, bolehlah untuknya semua larangan-larangan ihram kecuali berhubungan dengan istri. Maka boleh baginya mengenakan pakaian, minyak wangi, menutup kepala dan semisalnya. Jika ia telah melontar Jumratul Aqabah saja, semua larangan ihram menjadi halal baginya selain jima’, sekalipun ia belum bercukur atau menyembelih hadyu, kecuali orang yang membawa/menggiring hadyu, maka tidak halal sampai ia selesai melontar dan menyembelih hadyu. Ini dinamakan tahallul awal.

Disunnahkan bagi imam berkhotbah pada waktu Dhuha pada hari raya kurban(hari kesepuluh) di Mina, di samping pelontaran, mengajarkan kepada manusia tentang ibadah haji mereka. Kemudian orang yang berhaji memakai pakaiannya dan memakai miyak wangi, berangkat menuju Makkah di waktu Dhuha, lalu tawaf di Baitullah tawaf haji, dinamakan pula tawaf ifadhah atau ziarah, dan tidak melakukan ramal padanya.

Kemudian ia melakukan sa’i di antara Shafa dan Marwah,  jika ia melaksanakan haji tamattu’, inilah yang paling baik. Jika yang melaksanakan haji tamattu’ mencukupkan dengan satu sa’i antara Shafa dan Marwah, maka tidak apa-apa. Dan jika ia melaksanakan haji ifrad atau qiran dan belum melaksanakan sa’i setelah tawaf qudum, ia harus tawaf dan sa’i seperti yang melaksanakan haji tamattu’. Dan jika ia telah melaksanakan sa’i setelah tawaf qudum, dan itu yang lebih utama, maka ia tidak perlu sa’i setelah tawaf ifadah. Kemudian telah halal untuknya segala sesuatu yang diharamkan kepadanya dalam ihram, termasuk berhubungan dengan istri. Ini dinamakan tahallul tsani (yang kedua).

Permulaan waktu Thawaf ziarah (Ifadhah).
Yaitu setelah berlalu sebagian besar malam ke sepuluh bagi orang yang wukuf di Arafah, dan disunnahkan pada hari kesepuluh. Dan ia boleh menundanya dan tidak boleh menundanya dari bulan Dzulhijjah kecuali karena uzur (ada halangan).

Kemudian ia kembali ke Mina dan shalat Zuhur di sana. Ia menetap di sana (Mina) pada hari lebaran yang tersisa dan hari-hari tasyriq serta malam-malamnya. Maka ia menginap (bermalam) di Mina pada malam ke sebelas (11), ke dua belas (12), dan ke tiga belas (13) jika ia terlambat dan itu lebih utama. Jika ia tidak bisa menginap (secara penuh), ia boleh menginap sebagian besar malam dari malam-malam Mina, dari permulaan, atau pertengahan, atau akhirannya.

Ia melaksanakan shalat lima waktu bersama jamaah di dalam waktunya secara qashar tanpa jama’ di Masjid Khaif, jika memungkinkan. Dan jika tidak memungkinkan, ia melaksanakan shalat jamaah di tempat manapun di dalam Mina dan melontar jumrah yang tiga di hari-hari tasyriq setelah tergelincir matahari, mengambil batu kerikil setiap hari di tempat manapun di Mina.

Sunnah pergi ke tempat melontar jumrah sambil berjalan kaki,  jika memungkinkan. Lalu melontar di hari ke sebelas setelah tergelincir matahari (jumrah ula), yaitu yang paling kecil yang berada dekat masjid Khaif dengan tujuh biji batu kerikil secara berurutan. Mengangkat tangan kanannya bersama setiap batu kerikil, seraya membaca : Allahu Akbar (Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Besar), sambil menghadap qiblat, jika memungkinkan.

Apabila telah selesai, ia maju sedikit ke sebelah kanannya, berdiri menghadap qiblat sambil mengangkat tangan serta berdo’a dengan panjang sekadar Surah al-Baqarah.

Kemudian ia berjalan ke Jumratul Wusta, melontarnya dengan tujuh biji batu kerikil, seperti yang terdahulu, mengangkat tangannya yang kanan bersama setiap batu dan membaca takbir. Kemudian ia maju ke arah Utara, berdiri menghadap qiblat seraya mengangkat kedua tangannya, berdoa dengan panjang, lebih pendek dari doanya yang pertama.

Kemudian ia berjalan ke arah Jumratul Aqabah dan melontarnya dengan tujuh biji batu kerikil, menjadikan Makkah sebelah kirinya dan Mina sebelah kanannya, dan tidak berdiri untuk berdoa di sampingnya. Dengan demikian, ia telah melontar dua puluh (21) batu kerikil. Yang berhalangan boleh tidak bermalam di Mina, boleh menggabungkan lontaran dua hari dalam satu hari, atau menunda melontar hingga hari tasyriq yang terakhir, atau melontar di malam hari.

Kemudian ia melakukan di hari ke dua belas (12) seperti yang telah dilakukannya di hari ke sebelas (11), melontar jumrah yang tiga setelah tergelincir matahari, seperti yang telah lalu.

Maka jika ia menginginkan untuk lebih cepat dalam dua hari, ia harus keluar dari Mina di hari ke dua belas (12) sebelum tenggelam matahari. Dan jika ia menunda hingga hari ke tiga belas (13), ia melontar jumrah yang tiga setelah gelincir matahari, seperti yang telah lewat, dan itulah yang lebih utama, karena ia adalah perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan perempuan sama seperti laki-laki dalam semua penjelasan yang telah lalu, dan dengan demikian orang yang melaksanakan ibadah haji telah selesai dari semua rangkaian ibadah haji.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan ibadah haji sebanyak satu kali, yaitu haji wada’ (haji perpisahan), beliau melaksanakan manasik ibadah haji, berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membebankan kepada umat tanggung jawab berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di Arafah, Agama (Islam) disempurnakan, dan di hari raya (10 Dzulhijjah) beliau membebankan kepada umat tanggung jawab agama, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ

‘Hendaklah yang menyaksikan (yang hadir) menyampaikan kepada yang tidak hadir.’ Muttafaqun ‘alaih.[3]

Disyari’atkan bagi setiap muslim, setiap selesai melaksanakan ibadah seperti shalat, puasa, dan haji agar berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberi taufik kepadanya untuk melaksanakan taat, memuji kepada-Nya atas kemudahan yang telah diberikan kepadanya untuk menunaikan kewajiban, dan meminta ampun kepada-Nya terhadap kekurangan, bukan seperti orang yang merasa bahwa ia telah menyempurnakan ibadah dan memberi nikmat dengan ibadah tersebut kepada Rabb-nya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَإِذَا قَضَيۡتُم مَّنَٰسِكَكُمۡ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَذِكۡرِكُمۡ ءَابَآءَكُمۡ أَوۡ أَشَدَّ ذِكۡرٗاۗ ….. [البقرة: ٢٠٠] 

Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (denga menyebut) Allah, sebagimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. [Al-Baqarah/2 :200]

Kemudian setelah selesai melontar jumrah di hari ke tiga belas (13) setelah tergelincir matahari, ia keluar dari Mina. Termasuk perkara yang disunnahkan, menetap (tinggal, singgah) di Abthah jika memungkinkan, dan melaksanakan shalat Zuhur, Ashar, Maghrib dan ‘Isya, dan menginap sebagian malam di sana.

Kemudian ia turun menuju Makkah dan melaksanakan tawaf wada’ jika ia bukan penduduk Makkah. Perempuan yang haid dan nifas tidak diwajibkan melaksanakan tawaf wada’. Maka apabila ia selesai tawaf wada’, ia pulang ke negerinya, dan ia boleh membawa air zamzam sebatas kemampuannya, jika ia menghendaki.

[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي   (Ringkasan Fiqih Islam Bab : Ibadah  العبادات ) Penulis : Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri  Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]
_______
Footnote
[1]  Shahih/ HR. Abu Daud no 1950, Shahih Sunan Abu Daud no. 1718, dan at-Tirmidzi no. 891, ini adalah lafazhnya, Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 707.
[2]  Muttafaqun ‘alaih. HR.al-Bukhari no. 1728 dan Muslim no. 1302, ini adalah lafazhnya.
[3]  HR. al-Bukhari no. 67, ini adalah lafazhnya, dan Muslim no. 1679


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/83780-tata-cara-haji-2.html